The Protestants, Nazi, and Anti-Semitism

David Hutauruk
10 min readSep 22, 2022

--

https://www.hitler-archive.com/photos/1934%2009%2006%20-%2049%20-%20vX753VXt.jpg
Hitler and Muller

“Martin Luther’s Day”

Tanggal 10 November 1933 merupakan tahun ke-450 dari hari kelahiran Martin Luther. Hari lahir Luther merupakan perayaan yang lazim dirayakan oleh anggota jemaat Lutheran-Jerman sebagai peringatan akan kehidupan sang reformer. Nazi sebagai partai Jerman yang mulai naik dalam pemerintahan, turut mendukung perayaan ini dan mengajak seluruh anggota jemaat Protestan untuk merayakannya di Berlin. Perayaan ini terjadi pada tanggal 19 November 1933 dan menjadi salah satu penanda relasi erat antara Nazi dan Protestanisme. Momen ini menjadi proses pembentukan kesadaran dan semangat bangsa Jerman sebagai satu rakyat (volk) yang berjalan dalam satu iman.[1]

Pertemuan antara Nazi dan kekristenan Protestan hadir melalui doktrin anti-Semit. Anti-Semitisme adalah doktrin utama yang dicanangkan Hitler dalam membawa bangsa Jerman menuju kebangkitan nasionalisme dan sosialisme. Hal ini ternyata sejalan dengan kekristenan Jerman yang turut memiliki kebencian yang sama dengan orang-orang Yahudi di sekitarnya. Negara Jerman yang dikuasai oleh Nazi pada saat itu berelasi erat dengan Gereja Protestan dalam masa pemerintahan awal hingga akhir perang. Tulisan ini mencoba mengulas kembali perjalanan Gereja Protestan Jerman yang menyatu dan juga terpecah dalam berbagai visi, misi, doktrin, dan ideologi.

Anti-Semitisme dalam Pemerintahan Nazi-Jerman

Pemimpin Nazi, Adolf Hitler maju ke dalam pemerintahan pada tahun 1933 dan menguasai Jerman. Hitler bersama Nazi berhasil menghimpun masyarakat, untuk memulai suatu proses yang dinamakan gleichschaltung[2]. Proses ini merupakan usaha Nazi untuk memasukkan aspek-aspek nasionalis-sosialis dalam kehidupan masyarakat sekaligus membentuk masyarakat yang homogen dan bersih dari segala aspek yang non-Arya. Proses ini memaksa masyarakat untuk mendaftar dalam partai Nazi, semata-mata untuk menyambung kehidupannya.[3]

Proses gleichschaltung ini mengakibatkan kemunculan ide anti-Semit dan persekusi kepada orang Yahudi. Ide ini sebenarnya datang dari keyakinan orang Jerman-Kristen, yang beranggapan bahwa bangsa Yahudi adalah kaum yang menolak Kristus serta kekristenan. Dalam doktrin kebangsaannya, Hitler mendasarkan kebenciannya melalui teori Sosial Darwinisme dan nasionalisme Jerman, sehingga Hitler sampai pada kesimpulan bahwa bangsa Yahudi merupakan ras non-Arya yang menjadi penyebab dari seluruh masalah negara Jerman. Ide anti-Semit dari Hitler menjadi pusat dari berbagai kebijakan yang dikeluarkannya. Kebijakan anti-Semit ini akhirnya menghasilkan persekusi terhadap setiap bangsa Yahudi, baik yang religius maupun sekuler. [4]

Agama dalam Masa Kekuasaan Nazi

Kehidupan agama pada masa kebangkitan Nazi mendapat perhatian khusus sebagai bagian dari langkah koordinasi masyarakat. Iman dan religiusitas sendiri mengalami kebangkitan sejak tahun 1933. Momen “Kebangunan Iman Nasional” ini diisi dengan gerakan-gerakan kristenisasi serta kesatuan masyarakat, secara spiritual hingga berkembang menjadi nasional.[5] Hitler menggunakan momentum ini dengan menyatakan bahwa agama Katolik dan Protestan adalah kelompok yang dapat mengembalikan kejayaan nasional dan menjadi penentu kehidupan moral masyarakat. Hitler menyadari bahwa dua agama ini memiliki pengaruh yang kuat dan dapat dijadikan alat untuk mengatur masyarakat.[6]

https://cdn.britannica.com/21/234621-050-7D14EE42/German-Christians-1933-Berlin-Palace.jpg
Martin Luther’s Day

Relasi Gereja Protestan Jerman dan Nazi

Kebangkitan religius yang dirasakan oleh masyarakat Jerman direspons dengan baik oleh sebagian besar pemimpin Gereja Protestan. Mereka melihat momentum ini sebagai bagian dari kemajuan yang positif bagi kehidupan Jerman, dibandingkan pada masa pemerintahan Weimar.[7] Semangat ini diarahkan oleh Nazi dalam proses ‘koordinasi’ dengan cara menggabungkan seluruh umat Protestan dalam satu gerakan, yaitu Deutsche Christen. Gerakan ini berhasil menghimpun 28 gereja Protestan regional yang mendukung rezim Nazi dalam satu organisasi. DC dibentuk oleh Nazi sebagai organisasi sentral bagi Protestanisme Jerman, khususnya dalam langkah menyatukan masyarakat dan menyalurkan prinsip-prinsip Nazi melalui gereja.[8]

Christian-Nazi Altar

Doktrin utama yang dijalankan oleh oleh DC berpusat pada gerakan anti-Semit, nasionalisme, dan keterbukaan pada ideologi yang dikembangkan oleh Nazi. Para anggota DC percaya bahwa mereka adalah bagian dari misi volkisch[9] sebagai misi utama gereja. Misi ini dijalankan dalam keyakinan bahwa bangsa Jerman merupakan bangsa Arya-Kristen yang murni dan mereka ditugaskan oleh Tuhan untuk menjaga kemurnian tersebut. Hitler dalam pemahaman misi ini juga diyakini sebagai pemimpin yang diutus oleh Tuhan. Pada tahun 1933, seluruh pengakuan dan keputusan etis yang diyakini oleh DC dirangkum dalam konstitusi gereja yang baru dan kelompok DC memilih Ludwig Muller sebagai pemimpin DC atau yang disebut sebagai Reich Bishop.[10] Penyatuan gereja bersama dengan pemerintah ternyata menuai reaksi penolakan dari beberapa gereja-gereja regional lain yang menyatakan keberatannya terhadap Nazi.

https://spartacus-educational.com/00mullerL4.jpg?ezimgfmt=rs:412x281/rscb1/ngcb1/notWebP
Ludwig Muller as Reich Bishop

“Church Struggle”

Perpecahan dalam gereja atau yang disebut sebagai “church struggle” terbagi dalam tiga sektor, yaitu perpecahan antara kelompok DC dan kelompok Confessing Church (CC); lalu ketegangan antara CC dan Nazi; dan perpecahan dalam tubuh CC, antara kelompok radikal (menolak kekuasaan Nazi atas gereja) dan konservatif (mendukung relasi penuh antara Nazi dan gereja).[11]

Confessing Church sendiri merupakan gerakan yang tumbuh pada tahun 1933. Gerakan ini muncul akibat perubahan besar yang dilakukan oleh pemerintah melalui DC, saat para pemimpin gereja lokal digantikan oleh para pendeta yang dipromosikan oleh pemerintah. Masalah-masalah lain yang kemudian muncul adalah pertentangan mengenai hak memilih dalam pengambilan keputusan gereja, prinsip kepemimpinan gereja, otonomi gereja lokal, pemilihan pelayan di gereja lokal, dan penggunaan dana gereja. Sebelum CC terbentuk, gerakan oposisi para pelayan hadir melalui kumpulan para pelayan dan teolog muda yang menamakan dirinya “Young Reformers”. Gerakan ini menuntut pemerintah untuk memisahkan gereja dari negara secara politis, menyatukan seluruh gereja regional dalam satu organisasi, dan memberikan kesempatan bagi para pelayan muda untuk berkiprah. Ide lanjutan yang mengarah kepada pembentukan CC akhirnya muncul melalui kepemimpinan Martin Niemoller pada akhir tahun 1933.[12]

https://s3.us-west-2.amazonaws.com/1517-assets-public/images/_800x418_crop_center-center_82_none/confessingchurch.jpg?mtime=1559917210
The Confessing Church

Akar masalah dalam “church struggle” terletak pada kebijakan yang dikeluarkan oleh Nazi pada tahun 1933. Dalam peraturan ini, Nazi menetapkan peraturan untuk pembersihan bangsa “non-Arya” dari kehidupan sosial. Hal ini menjadi singgungan bagi gereja, karena terdapat orang-orang keturunan Yahudi yang telah terdaftar sebagai anggota jemaat gereja Protestan atau telah menjadi pelayan dalam gereja Protestan. Bagi kelompok DC, kebijakan ini diterima dan dilakukan dalam kehidupan gereja. Orang-orang yang diketahui memiliki darah Yahudi disingkirkan dari gereja. Sementara kelompok CC, menolak kebijakan ini, tetapi memilih untuk diam saat menyaksikan penangkapan orang-orang Yahudi-Protestan.[13]

Kelompok CC dalam hal ini memang menolak kebijakan Nazi, tetapi tidak berdasar pada kepedulian terhadap bangsa Yahudi. Penolakan ini hadir karena kelompok CC merasa bahwa pemerintah bertindak terlalu jauh dalam mengurusi kehidupan gereja, khususnya dalam mengintervensi sakramen Baptisan. Sakramen Baptisan dalam masalah ini dianggap sebagai tanda penerimaan Allah bagi setiap orang, termasuk bangsa Yahudi dalam kehidupan gereja, sehingga mereka tidak dapat ditolak atau diusir dari gereja. Tetapi dalam praktiknya, hanya beberapa pelayan CC yang memiliki keberanian untuk melindungi bangsa “non-Arya” dan selain itu, para pelayan memilih untuk diam.[14]

Sinode Barmen

Karl Barth, seorang teolog dari Swiss, mengkritik kelompok Young Reformers pada tahun 1933, dengan menyatakan bahwa kelompok Young Reformers hanya melihat masalah dari sisi independensi gereja dan tidak berpusat pada natur gereja. Barth menawarkan dasar dalam melakukan oposisi terhadap Nazi, yaitu dengan memusatkan kehidupan gereja pada Firman Tuhan. Pernyataan ini menimbulkan kesadaran yang lebih kuat bagi para pelayan gereja Protestan untuk melindungi gereja dari intervensi sekuler. Niemoller bersama Gerhard Jacobi, mendirikan gerakan Pastor’s Emergency League (PEL). Mereka berhasil menghimpun 2,300 pelayan untuk menandatangani pernyataan PEL dalam memperkuat oposisi terhadap kebijakan pemerintah.[15]

Pada awal tahun 1934, Barth melihat bahwa perpecahan antara aliran gereja di Jerman telah meluas. Barth mengusulkan penyatuan posisi teologis melalui satu pengakuan (konfessi). Konfessi ini dihimpun melalui tiga aliran Protestan di Jerman, yaitu Lutheran, Reformed, dan United[16]. Pertemuan mengenai hal ini pun diadakan di Barmen pada bulan Mei 1934 dan menghasilkan Deklarasi Barmen.[17]

Respons Gereja Protestan terhadap Penderitaan Orang Yahudi

Deklarasi Barmen memang menjadi pengakuan bagi gereja-gereja Protestan yang tergabung dalam CC untuk mendasari kehidupan gereja pada Yesus Kristus dan Firman Tuhan, tetapi dalam operasi ‘pembersihan’ bangsa Yahudi yang disebut sebagai Kristallnacht, CC mengambil tindakan untuk berdiam. Laporan pasukan Schutzstaffel (SS) pada tahun 1938 menyatakan bahwa 200 sinagoge telah dihancurkan, 7.500 bisnis Yahudi juga dihancurkan, 91 orang dibunuh, dan yang lainnya terluka atau diperkosa. Sebelum Perang Dunia II terjadi, Nazi telah menangkap 26.000 orang Yahudi dan menempatkan mereka dalam kamp konsentrasi.[18]

Bagi bangsa Jerman, termasuk para pelayan dan anggota jemaat CC, hal ini tidak mengherankan. Pembantaian dan penyiksaan bagi bangsa Yahudi merupakan hal yang tidak perlu diperhatikan, karena Martin Luther menyatakan bahwa bangsa Yahudi merupakan bangsa yang tidak percaya kepada Tuhan dan Yesus Kristus sebagai Mesias. Bangsa Yahudi juga dianggap sebagai ancaman bagi bangsa Jerman, kecuali orang Yahudi tersebut mau menerima Kristus sebagai Mesias dan menerima iman Kristen. Masalah utama yang diajarkan oleh gereja dalam hal ini tidak terletak pada ras, tetapi pada pemahaman iman Yahudi yang berbeda dengan Protestanisme.[19]

https://www.history.com/.image/t_share/MTU3ODc5MDg3MjQ1MzA1MTYx/jews-wearing-star-of-david-badges-lodz-ghetto-poland-1940-1944.jpg
David’s Star

Kesadaran untuk membela bangsa Yahudi dalam lingkup CC baru muncul pada tahun 1939, saat Perang Dunia II dimulai. Beberapa tokoh gereja Protestan, seperti Martin Albertz, Dietrich Bonhoeffer, Heinrich Grüber, Hermann Maas mulai menyalurkan bantuan dan menolong orang Yahudi maupun orang Yahudi-Kristen untuk keluar dari Jerman. Barth dan Bonhoeffer juga hadir sebagai pembela bangsa Yahudi-Eropa dengan sikap yang proaktif.[20] Sikap dan aksi protes dari gereja mengenai pembantaian bangsa Yahudi yang dilakukan oleh Nazi hanya terlihat melalui dua pernyataan, yaitu dari Sinode Church of Old Prussian Union di Breslau pada bulan Oktober 1943 dan dari Uskup Theophil Wurm. Sinode Gereja Prussia menyatakan bahwa pembunuhan terhadap manusia dari bangsa tertentu, orang yang telah menua, orang dengan kebutuhan khusus, dan kriminal tidak dapat disebut sebagai otoritas yang diberikan oleh Tuhan kepada negara. Sinode Gereja Prussia juga mengajak para pelayan dan anggota jemaat untuk membangun relasi yang penuh dengan kasih bersama orang Yahudi-Kristen yang telah dibaptis.[21] Uskup Wurm pada sisi lain mengirimkan surat kepada Hitler untuk menyampaikan protesnya mengenai pembantaian bangsa Yahudi. Meskipun Wurm merupakan salah satu tokoh gereja yang sangat membenci bangsa Yahudi, Wurm menyatakan bahwa perlakuan yang buruk kepada manusia adalah hal yang bertentangan dengan perintah Allah. Bagi Wurm, sikap anti-Semit dapat dibenarkan dengan memperhatikan ‘batasan biblikal’.[22]

Akhir PD II dan Perjalanan Relasi Protestan-Yahudi Jerman

Sifat pasif Gereja Protestan mengenai perlakuan Nazi kepada bangsa Yahudi adalah hasil dari warisan teologi Martin Luther, yang menganggap bahwa bangsa Yahudi adalah musuh Kristus. Gereja-gereja Protestan dalam hal ini mewarisi ide-ide anti-Semit atau anti-Judaisme dalam kehidupan para pelayan dan anggota jemaat. Ide ini kemudian menyatu dengan idealisme bangsa Jerman sebagai satu rakyat (volk) yang ditawarkan oleh Nazi.[23] Hitler sendiri sering kali mempertemukan dua kutub idealismenya, yaitu manusia Jerman sebagai ras Arya dan umat Kristen. Ideologi ini menjadi sangat kuat dan menjangkau masyarakat, baik dari dimensi religius maupun sekuler. Hitler dalam ini tidak membangun sebuah ideologi baru, tetapi justru memanfaatkan ide-ide yang telah beredar dalam masyarakat.[24]

Setelah PD II, para pelayan gereja-gereja Protestan masih enggan untuk membahas doktrin anti-Semit maupun penderitaan bangsa Yahudi dari segi praktis maupun teoritis.[25] Tindakan selanjutnya yang dilakukan oleh gereja-gereja dan badan misi Protestan adalah menjalankan evangelisasi bagi orang-orang Yahudi. Orang-orang Protestan melihat bahwa solusi yang dapat ditawarkan untuk menerima orang-orang Yahudi-Jerman dalam masyarakat adalah mengadakan dialog dan studi mengenai Judaisme, tetapi pada sisi lain mendorong perpindahan agama orang Yahudi-Jerman. Misi ini pada akhirnya mengalami kegagalan, karena kesadaran bangsa Yahudi mengenai kekejaman bangsa Jerman melalui Holokaus dan kebangkitan Zionisme di negara baru yang dikenal sebagai Israel. Teror dan penghinaan bangsa Jerman terhadap orang-orang Yahudi telah menanamkan kesedihan dan kepedihan yang sangat mendalam.[26]

https://www.history.com/.image/t_share/MTU4MDgxNzUxNzA3NTU5NzA1/holo.jpg
The Victim

Hans Lijle, uskup Gereja Protestan Hannover memantik sebuah pertanyaan, yang mengawali perubahan sikap anggota jemaat Protestan terhadap orang Yahudi. Pertanyaan yang disebut Lijle adalah: “tindakan apa yang dapat dilakukan gereja untuk menyatakan kedamaian?” Pertanyaan ini direspons dan dilanjutkan oleh Heinrich Vogel untuk menghimpun sinode gereja-gereja Protestan dalam membahas masalah ini. Sinode Berlin-Weisenesse pada tahun 1950 menghasilkan pemahaman bersama bahwa gereja-gereja Protestan Jerman masih mengharapkan pengakuan bangsa Yahudi akan kemesiasan Kristus, akan tetapi tanpa intervensi, pemaksaan dan ancaman. Selain itu, sinode ini juga mengajak seluruh pelayan dan anggota jemaat Protestan untuk menghormati seluruh orang Yahudi, termasuk orang Yahudi yang telah menjadi Kristen.[27] Sinode ini menjadi momentum yang meredakan ideologi anti-Semit yang telah diwarisi gereja-gereja Protestan Jerman selama berabad-abad.

Pertanyaan Reflektif

1. Bagaimana doktrin mengenai keselamatan dapat dirangkai menjadi lebih ramah publik, jika hal ini menjadi salah satu penyebab dari kekerasan yang dilegitimasi oleh agama?

2. Apakah nasionalisme dapat menjadi bahaya bagi kekristenan? Dan bagaimana kekristenan dapat menentukan ideologi politik, yang jarang didiskusikan dalam ranah gereja?

3. Apakah doktrin yang dikembangkan oleh gereja-gereja Protestan (khususnya di Indonesia) telah menjadi doktrin yang menerima keberadaan bangsa, ras, dan agama lain? Bagaimana doktrin gereja dapat diarahkan untuk mencegah kekerasan kepada orang dengan bangsa, ras, dan agama lain?

Catatan Kaki

[1] Richard Steigmann-Gall, “The Holy Reich”: Nazi conceptions of Christianity, 1919–1945 (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 134–35.

[2] Dapat diartikan sebagai ‘koordinasi’.

[3] Lisa Pine, Hitler’s ‘National Community’: Society and Culture in Nazi Germany, (London: Bloomsbury Academic, 2017), 31.

[4] Pine, Hitler’s ‘National Community’, 145–146.

[5] Manfred Gailus, “Religion*” dalam A companion to Nazi Germany, peny. Shelley Baranowski dkk (Hoboken: John Wiley and Sons, 2018), 333–34.

[6] Pine, Hitler’s ‘National Community’, 129–30.

[7] Masa pemerintahan republik Jerman yang dikuasai oleh partai Sosialis Jerman, Partai Sentral, dan Partai Demokratik Jerman. Masa ini berlangsung pada tahun 1918–1932.

[8] Pine, Hitler’s ‘National Community’, 131; Gailus, A companion to Nazi Germany, 334.

[9] Kerakyatan.

[10] Pine, Hitler’s ‘National Community’, 132.

[11] Matthew Hockenos, A church divided: German Protestants confront the Nazi past, (Bloomington: Indiana University Press, 2004), 15–17.

[12] Ibid, 19.

[13] Ibid, 19–20.

[14] Ibid, 20.

[15] Ibid, 21–22.

[16] Aliran gereja yang menggabungkan pemahaman teologis dan ekklesiologis aliran-aliran Protestanisme.

[17] Ibid, 22–23.

[18] Ibid, 35.

[19] Ibid, 36.

[20] Ibid.

[21] Ibid, 37.

[22] Ibid.

[23] Ibid, 136.

[24] Steigmann-Gall, “The Holy Reich”, 36–37.

[25] Hockenos, A church divided, 137.

[26] Ibid, 159.

[27] Ibid, 169.

Daftar Pustaka

Steigmann-Gall, Richard. The Holy Reich: Nazi conceptions of Christianity, 1919–1945. Cambridge: Cambridgde University Press, 2003.

Pine, Lisa. Hitler’s ‘National Community’: Society and Culture in Nazi Germany. London: Bloomsbury Academic, 2017.

Gailus, Manfred. “Religion*,” dalam A companion to Nazi Germany, peny. Shelley Baranowski dkk, 333–350. Hoboken: John Wiley and Sons, 2018.

Hockenos, Matthew. A church divided: German Protestants confront the Nazi past. Bloomington: Indiana University Press, 2004.

--

--